Jakarta, WartaKitaNews.com- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima laporan dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang diduga melibatkan Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
Adapun laporan dugaan KKN terhadap dua anak presiden Joko Widodo itu dilayangkan oleh dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang juga aktivis ’98, Ubedilah Badrun.
“Terkait laporan tersebut, informasi yang kami terima, benar hari ini telah diterima Bagian Persuratan KPK,” ujar Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Atas adanya laporan tersebut, kata Ali, KPK akan lebih dahulu melakukan verifikasi dan telaah terhadap data laporan yang diduga menyeret nama Gibran dan Kaesang itu.
Verifikasi tersebut, kata dia, untuk menghasilkan rekomendasi apakah aduan tersebut layak untuk ditindaklanjuti dengan proses telaah atau kemudian diarsipkan.
“Proses verifikasi dan telaah penting sebagai pintu awal apakah pokok aduan tersebut sesuai undang-undang yang berlaku, termasuk ranah tindak pidana korupsi dan menjadi kewenangan KPK atau tidak,” kata Ali.
Menanggapi laporan itu, Sekretaris Jenderal Barikade 98 Arif Rahman menilai laporan tersebut terlalu ceroboh dan tergesa-gesa.
“Saran saya, kalau mau jadi pahlawan janganlah pahlawan kesiangan. Pahami dulu regulasi dan aturan, kemudian investigasi baru buat laporan dan publikasi,” ucapnya.
Arif menyayangkan pelapor selaku akademisi sekaligus Aktivis 98 cenderung gegabah dalam membuat pelaporan tersebut.
“Mungkin dia lupa, kalau kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi,” ungkapnya.
“Meliputi tindak pidana korupsi yang : a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara,” tambahnya.
Kemudian poin b, lanjut Arif, mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. “Dan/atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah),” papar Alumni Universitas Tarumanegara ini.
Menurut dia, predikat sebagai anak presiden mestinya belum menjadi ranah KPK, laporan ini dinilai error in persona. Sebab, kasus yang dilaporkan adalah hubungan bisnis swasta dengan swasta.
“Ini kita belum bicara posisi kasus yang dilaporkan lho yaa. Kalau misalnya mendalilkan Gibran sebagai Walikota Solo, pertanyaanya apakah dia sudah menjadi walikota saat hal yang dilaporkan tersebut terjadi,” imbuh aktivis 98 dari organ Famred ini.
Sebagai sesama Aktivis 98, Arif meminta koleganya untuk tidak main-main membuat laporan tanpa analisa, pertimbangan dan pengetahuan yang cukup terkait kasus yang dilaporkan.
“Karena selain bikin malu, juga berpotensi kena delik pidana laporan palsu jika ternyata terbukti ada itikad jahat dalam laporan tersebut. Ini bukan kata saya, tetapi diatur dalam UU No. 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan korban pasal 10,” katanya.
Terkait posisi kasusnya, Arif menilai laporan terhadap dua anak presiden ini seperti tembakan koboi mabok, fragmen-fragmen kejadian dirangkum dan ditafsirkan sesuka hati.
Dia mencontohkan, salah satu kecurigaan karena terlapor yang masih muda tetapi sudah mendapat kucuran dana Rp92 miliar.
“Jika hal seperti ini yang jadi persoalan, gawat juga, sama saja membunuh potensi startup yang umumnya digalakkan oleh Gen-Z usia di bawah 30 tahun. Bisa saja menurut pelapor itu duit banyak, faktanya dengan nilai tersebut belum terhitung sebagai unicorn. Sementara, tidak sedikit startup lokal yang sudah berjuluk unicorn, bahkan decacorn,” jelasnya.
Kemudian, kata Arif, ada yang mengaitkan proses hukum terhadap suatu perusahaan yang berjalan di koridor Yudikatif, lantas mengkaitkan dengan kerjasama antara anak presiden dengan anak pemilik grup usaha tersebut.
“Dua kejadian yang sama sekali berbeda dan tidak ada irisan, lantas disandingkan seolah-olah berkaitan dan berhubungan. Hal ini tentu saja menindas hak Kaesang untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana diatur dalam UUD 1945,” katanya.
Arif menambahkan, jika memang menemukan kejanggalan secara hukum, kejanggalan hukum itulah yang mestinya dilaporkan, bukan asumsi.
“Nanti, jangan karena terlalu semangat malah jadi menindas hak asasi orang lain. Karena, equality before the law juga berlaku untuk anak presiden. Jangan karena dia anak presiden, terus gak boleh bisnis, gak boleh sekolah, gak boleh ngapa-ngapain,” tegasnya.
Arif mengaku sangat mendukung jika pelapor bersedia melakukan investigasi yang lebih serius untuk membuktikan kalau kucuran dana tersebut memiliki indikasi melanggar hukum dan kejahatan. Bahkan, dia menyatakan siap bergabung.
“Kami di Barikade juga memiliki bidang kajian hukum dan politik yang terus mengkritisi pemerintahan dengan metode dan cara-cara akademik yang layak. Setiap anomali, kejanggalan, bahkan kebijakan yang kontroversi kami kaji,” pungkas Arif.
Arif merasa bangga jika ada aktivis 98 yang masih konsisten sebagai oposisi dan melakukan kerja-kerja politik sebagai penyeimbang. Namun, dia juga menentang jika itikad dalam beroposisi dan pelaporan kasus-kasus didasari niat-niat sekedar ingin populer belaka dan mendapat kredit di politik praktis semata. (***)
Editor: Joni Karbot